A. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
1. Sistem Pendidikan di Indonesia
Pendidikan
merupakan upaya merekonstruksi suatu peradaban yang dibutuhkan oleh setiap
manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk
masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan
fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan
kehidupan menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya. Dalam
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun
2003 Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan
definisi di atas, terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat
dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan. Definisi
di atas dapat pula difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia
diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka
mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Sistem pendidikan nasional
diselenggarakan dengan penuh dinamika sejak pemerintahan orde lama, orde baru,
dan orde reformasi. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi penyelenggaraan
sistem pendidikan, yaitu political will
dan dinamika sosial. Political will
merupakan suatu produk dari eksekutif dan legislatif diwujudkan dalam berbagai
regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Salah satu bentuk
produk political will ini adalah
undang-undang pendidikan. Sejarah perkembangan undang-undang pendidikan ini, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok
Pengajaran dan Pendidikan, Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, sampai dengan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Struktur sistem
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun
2003 ditunjukkan seperti Gambar 1.
2. Struktur Pendidikan Vokasi di Indonesia
Sistem
pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan
mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan
tujuan nasional. Sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003,
sistem pendidikan nasional dibedakan menjadi satuan pendidikan, jalur
pendidikan, jenis pendidikan, dan jenjang pendidikan. Satuan pendidikan
menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di
luar sekolah. Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu:
jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan
sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan
belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan. Jalur pendidikan luar
sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui
kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan.
Selanjutnya,
dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia,
penyelenggaraan pendidikan dapat dibedakan dalam dua kelompok pendidikan,
yaitu: (1) pendidikan akademik, dan (2) pendidikan profesional. Pendidikan
akademik merupakan penyelenggaraan program pendidikan yang bertujuan
mempersiapkan peserta didik mengembangkan potensi akademik untuk melanjutkan
studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan profesional merupakan
penyelenggaraan program pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
meningkatkan potensi kompetensi sesuai bidang keahliannya. Pendidikan profesional
ini termasuk dalam kategori penyelenggaan pendidikan yang berorientasi dunia
kerja.
Dalam
sistem penyelenggaraan pendidikan berorientasi dunia kerja di Indonesia,
terdapat dua istilah pendidikan yang digunakan, yaitu: pendidikan kejuruan dan
pendidikan vokasi. Dalam Pasal 15 Undang-undang
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan
pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta
didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu, sedangkan pendidikan vokasi
merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki
pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program
sarjana. Dengan demikian, pendidikan kejuruan merupakan
penyelenggaraan jalur pendidikan formal yang dilaksanakan pada jenjang
pendidikan tingkat menengah, yaitu: pendidikan menengah kejuruan yang berbentuk
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pendidikan vokasi merupakan penyelenggaraan
jalur pendidikan formal yang diselenggarakan pada pendidikan tinggi, seperti:
politeknik, program diploma, atau sejenisnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa
pendidikan kejuruan dan pendidikan vokasi merupakan penyelenggaraan program
pendidikan yang terkait erat dengan ketenagakerjaan. Menurut Sapto Kuntoro
sebagaimana dikutip Soeharsono (1989), hubungan antara jenjang pendidikan di
sekolah dengan ketenagakerjaan dapat diilustrasikan seperti Gambar 2.
3. Paradigma Baru Pendidikan
Vokasi
Salah
satu indikator era globalisasi adalah ditandai dengan munculnya perdagangan
bebas. Menurut Marzuki Usman (2005), pada tahun 2020 yang akan datang merupakan
waktu akan dimulainya globalisasi secara total. Perdagangan internasional akan
sebebas-bebasnya, baik perdagangan barang maupun jasa, dan investasi
internasional. Dengan demikian, barang-barang bebas keluar masuk tidak mengenal
batas negara (borderless), Indikasi
ini menunjukkan bahwa tenagakerja dengan kualifikasi profesional sangat
dituntut dalam pasar bebas. Seiring dengan era globalisasi tersebut
terjadi pula perubahan yang sangat cepat dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Menurut M. Hatta Rajasa (2008), pada awal abad 21
telah tumbuh dengan cepat era informasi (information
age) atau era digital (digital age) yang kemudian secara
bertahap akan bergeser menjadi era pengetahuan (knowledge age).
Pada
era pengetahuan ini, pengetahuan (knowledge)
merupakan sumber daya utama dalam setiap aktivitas ekonomi. Ditinjau dari
dominasi ekonomi, perubahan menuju era pengetahuan ini lazim disebut ekonomi
berbasis pengetahuan (knowledge based
economy) atau yang populer dikenal dengan ekonomi kreatif (creative economy), yakni suatu tatanan ekonomi yang ditopang dengan keunggulan budaya,
seni dan inovasi teknologi.
Dalam
era ekonomi kreatif, laju perubahan arus informasi dan pengetahuan akan
berlangsung dengan sangat cepat, sehingga akan dituntut adanya berbagai bentuk
pekerjaan baru yang sarat dengan tuntutan untuk terus melakukan akumulasi pengetahuan untuk menghasilkan
berbagai inovasi baru (innovation intensive employment). Dengan demikian, konsekuensi yang akan
dirasakan dengan adanya ekonomi kreatif ini adalah terjadi tuntutan profil
ketenagakerjaan yang selaras dengan perubahan tersebut.
Jika dikaitkan dengan tantangan realitas
perubahan dalam abad 21 terhadap dunia pendidikan, menurut Wagner (2008) akan
terjadi tiga transformasi mendasar yang memerlukan perhatian, yaitu: (1)
evolusi yang cepat dalam era ekonomi kreatif yang sangat berpengaruh terhadap dunia
kerja, (2) terjadinya perubahan yang mendadak terhadap ketersediaan informasi
yang terbatas menjadi informasi yang kontinyu dan melimpah, dan (3) terjadinya
kenaikan dampak penggunakan media dan teknologi terhadap anak muda, terutama
peserta didik. Pendapat senada dinyatakan Power (1999) bahwa pendidikan vokasi
merupakan jenjang pendidikan berkaitan secara langsung dengan kemajuan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan bagi pekerja di bidang rekayasa
maupun industri jasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan vokasi harus
mampu memenuhi permintaan masyarakat pengetahuan (knowledge society) pada era ekonomi kreatif.
B. TREND KOMPETENSI KUNCI PENDIDIKAN VOKASI
Masyarakat di abad 21 dihadapkan pada
tantangan kebutuhan individu dengan kompleksitas tinggi dibanyak segi
kehidupannya. Perubahan-perubahan yang semakin tidak menentu dengan laju yang
semakin cepat merupakan bagian yang harus diakrabi oleh setiap individu.
Perubahan tersebut berimplikasi langsung
pada kebutuhan akan kompetensi-kompetensi kunci. Definition and Selection of
Competencies (DeSeCo, 2003)
mendefiniskan kompetensi sebagai berikut
“A competency is more than just knowledge and skills. It involves the
ability to meet complex demands, by drawing on and mobilising psychosocial
resources (including skills and attitudes) in a particular context”. Kompetensi tidak sekedar pengetahuan dan
keterampilan tetapi lebih dari itu. Kompetensi mencakup kemampuan memenuhi
permintaan yang komplek dengan menggunakan dan memobilisasi sumberdaya
psikologis seperti keterampilan dan sikap pada konteks yang tepat. The Northern
Territory Public Sector Australia (2003)
mendefiniskan “Competency as: The necessary knowledge and skills to
perform a particular work role to the standard required within industry (http://www.ncver.edu.au/)
Kompetensi
kunci adalah kompetensi untuk sebuah pekerjaan atau fungsi tertentu, tidaklah
spesifik bagi pekerja tertentu atau industri tertentu, tetapi menopang
kompetensi spesifik dari industri itu. Dalam aktifitas masyarakat berbasis
pengetahuan dan teknologi, kompetensi kunci merupakan kompetensi penting yang
memungkinkan seseorang dapat berkembang dan mampu beradaptasi pada perubahan
yang bersifat lateral. Menurut rumusan dari berbagai negara kompetensi kunci
mencakup aspek berikut:
1. Communication in the mother tongue;
2. Communication in a foreign language;
3. Mathematical literacy and basic
competences in science and technology ;
4. Digital competence;
5. Learning-to-learn ;
6. Interpersonal and civic competences;
7. Entrepreneurship; dan
8. Cultural expression. (http://www1.worldbank.org/).
Terdapat tiga klasifikasi kompetensi
kunci menurut DeSeCo (Definition and Selection of Competencies), yaitu:
(1) menggunakan tools secara interaktif, berupa kebutuhan individu
menggunakan tools secara luas untuk berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan fisik dalam bentuk teknologi informasi dan dengan sosial budaya
dalam mengunakan bahasa; (2) interaktif dalam kelompok yang heterogen, yaitu
meningkatkan kemampuan individu agar dapat menyertakan orang lain dan kemampuan
untuk melaksanakan pertemuan dengan berbagai orang dengan latar belakang yang
berbeda atau jamak; (3) bertindak secara otonom, kemampuan untuk bertanggung
jawab pada diri sendiri dalam situasi kehidupan dalam konteks sosial yang
kompleks. Bagaimana dengan masyarakat dan bangsa Indonesia “Apakah memiliki
kompetensi kunci yang baik?”
Perkembangan global telah membawa perubahan yang berdampak
pada kesenjangan prestasi pendidikan antar wilayah. Kesenjangan diakibatkan
oleh perbedaan bentuk-bentuk pengajaran dan penilaian versus apa sesungguhnya
yang diperlukan anak didik untuk berhasil sebagai pembelajar, pekerja, dan
masyarakat dalam global knowledge economy
saat ini. Perubahan tersebut sangat kuat pengaruhnya sehingga diperlukan
pemahaman dan rethink apa
sesungguhnya yang dibutuhkan anak-anak muda kita di abad 21 dan bagaimana mereka berfikir terbaik bahwa
masa depan mereka tetap tidak menentu
tanpa kepastian. Ketidakpastian adalah demand
driven dunia kerja abad 21. Saatnya menentukan perubahan kebutuhan
pendidikan masa depan “back-to-basics” dengan
penguatan pada daya adaptabilitas dari “Old
World” of classrooms in the “New World” of work.
Untuk memasuki “New
world of work pada abad 21 diperlukan tujuh survival skill (Wagner;
2008) yaitu: (1) critical thinking and
problem solving; (2) collaboration
across networks and leading by influence; (3) agility and adaptability; (4) initiative
and entrepreneuralism; (5) effective
oral and written communication; (6) accessing
and analyzing information; dan (7) curiosity
and imagination. Kemampuan bertanya yang baik disebut sebagai komponen
dasar dari berfikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving).
Dalam dunia baru knowledge-based economy pekerjaan
dinyatakan dengan tugas-tugas atau masalah atau tujuan akhir yang harus
diselesaikan. Dengan demikian critical
thinking and problem solving merupakan kompetensi sangat penting dalam
sebuah masyarakat industri. Pertanyaan yang baik adalah output dari critical thinking untuk problem solving.
Konsep
kerja tim saat ini sangat berbeda dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu.
Teknologi telah menyediakan model virtual
teams. Virtual teams bekerja
dengan orang-orang diseluruh dunia dengan pemecahan masalah menggunakan software. Mereka tidak bekerja dalam
ruang yang sama, tidak mendatangi kantor yang sama, setiap minggu melakukan conference calls, bekerja dengan web-net meeting. Tantangannya virtual and global collaboration adalah
jaringan kerjasama (nertwork). Skillfulness of individual working with
networks of people across boundaries and from different culture merupakan
kebutuhan esensial/mendasar sejumlah perusahaan multinasional. Core competencies nya adalah berfikir
strategis.
Dalam Partnership for 21st Century
Skills disetujui bahwa memahami dan mengapresiasi perbedaan budaya
merupakan core competencies tambahan
untuk semua kebutuhan lulusan high
school. Kepedulian pada perubahan
global menurut Wagner (2008) merujuk
akan kebutuhan kemampuan siswa untuk:
1. Menggunakan 21st century
skills (seperti kemampuan berfikir
kritis dan pemecahan masalah) untuk
memahami isu-isu global.
2. Belajar dari dan bekerja secara kolaboratif
dengan individu berbeda budaya, agama, dan lifestyles dalam spirit kebutuhan bersama dan dialog terbuka dalam
konteks bekerja dan berkomunikasi.
3. Memahami budaya negara-negara, termasuk penggunaan bahasa inggris. Untuk
bisa survive, diperlukan kemampuan yang fleksibel dan dapat beradaptasi sebagai
lifelong learner.
4. Memahami kompetensi kunci yaitu kemampuan melakukan penangan secara ambigu,
kemampuan mempelajari bagian-bagian inti
dan mendasar, kecerdasan strategis.
Untuk
mencapai sukses di abad 21 diperlukan employability
skills. Para stakeholder telah
menyadari betul akan pentingnya employability
pada jenjang pendidikan tinggi. Yorke (2006) menyatakan “the higher education system is subject to governmental steer, one form
of which is to give an emphasis to the enhancement of the employability of new
graduates”. Little (2006) menyatakan para stakeholder menaruh perhatian bahwa pendidikan tinggi sebaiknya
meningkatkan employability skills
lulusan. Sementara itu, Raybould & Wilkins (2005) menyatakan “universities must change their focus from
producing graduates to fill existing jobs to producing graduates who can create
new jobs in a dynamic growth sector of the economy”.
Lankard
(1990) mendefinisikan employability
skills sebagai suatu keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk
mendapatkan pekerjaan atau untuk dapat tetap bekerja, meliputi personal skills, interpersonal skills, attitudes,
habits dan behaviors. Overtoom (2000) mendefinisikan employability skills sebagai kelompok keterampilan inti bersifat
dapat ditransfer yang menggambarkan fungsi utama pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang dibutuhkan tempat kerja di abad ke-21. Robinson (2000) menyatakan employability skills terdiri dari tiga
kelompok keterampilan yang meliputi: (1) basic
academic skills, (2) higher-order
thinking skills, dan (3) personal
qualities.
The Secretary’s
Commission on Achieving Necessary Skills
(SCANS) mendefinisikan employability
skills sebagai “workplace know-how”
yang meliputi workplace competencies
dan foundations skills (SCANS, 1991).
Workplace competencies terdiri dari
lima yang dapat digunakan oleh pekerja secara efektif dalam meningkatkan
produktivitas meliputi: (1) Resources
(sumberdaya); (2) Interpersonal skills
(keterampilan interpersonal); (3) Information
(informasi); (4) Systems (sistem);
dan (5) Technology (teknologi).
Sementara itu, foundation skills
dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja para pekerja, meliputi: (1) Basic skills (keterampilan dasar); (2) Thinking skills (keterampilan berfikir);
dan (3) Personal qualities (kualitas
individu).
The Conference
Board of Canada (2000) mendefinisikan
employability skills sebagai suatu
istilah yang digunakan untuk menjelaskan keterampilan dan kualitas individu
yang dikehendaki oleh pemberi kerja terhadap pekerja baru apabila mereka mulai
bekerja. Employability skills dilihat
dari tiga elemen keterampilan utama, yaitu (1) Fundamentals Skills, yang meliputi: keterampilan berkomunikasi,
keterampilan mengelola informasi, keterampilan matematik dan keterampilan
menyelesaikan masalah; (2) Personal
Management Skills, yang meliputi: keterampilan dalam bersikap dan
berperilaku positif, keterampilan bertanggungjawab, keterampilan dalam
beradaptasi, keterampilan belajar berkelanjutan dan keterampilan bekerja secara
aman; (3) Teamwork Skills, yang
meliputi: keterampilan dalam bekerja dengan orang lain dalam suatu tim dan
keterampilan berpastisipasi dalam suatu projek atau tugas.
Dari
berbagai definisi tersebut dapat dikatakan bahwa employability skills merupakan sekumpulan keterampilan-keterampilan
non-teknis bersifat dapat ditransfer yang relevan untuk memasuki dunia kerja,
untuk tetap bertahan dan mengembangkan karir di tempat kerja, ataupun untuk pengembangan
karir di tempat kerja baru. Keterampilan-keterampilan tersebut termasuk
diantaranya: keterampilan personal, keterampilan interpersonal, sikap,
kebiasaan, perilaku, keterampilan akademik dasar, keterampilan berfikir tingkat
tinggi.
Kompetensi berkaitan
dengan kapasitas individu untuk sukses sebagai tenaga kerja dan dalam kehidupan
sosial yang memberi keuntungan tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk
masyarakat secara keseluruhan. Menurut CONOCER (Consejo Nacional de
Normalización Certificación de
Competencias Laborales,2002), kompetensi
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) basic competency; (2) generic competency; (3) specific
competency. Basic competency adalah
kompetensi dasar yang dipertunjukkan oleh
pekerja yang berkaitan dengan pengetahuan. Generic competency merupakan perilaku berkaitan dengan performan
untuk berbagai jenis pekerjaan dengan aktivitas produktif. Specific
competency merupakan kompetensi khusus berkaitan dengan
berbagai pengetahuan teknis. Klasifikasi
lain yang dekat konsepnya dengan kompetensi kunci adalah: Intellectual competencies yaitu kompetensi yang
berhubungan dengan pemecahan masalah, penanganan informasi, pemahaman proses
dan sistem, kemandirian,dan responsibilitas. Basic competencies yaitu
kapasitas membaca, menulis, menggunakan dan mengintepretasikan simbol-simbol
dan rumus-rumus matematika. Technical
competencies berhubungan dengan pengetahuan instrumen dan fungsi
mesin-mesin, peralatan, dan prosedur kerja. Behavioural competencies
adalah kapasitas untuk verbal
self-expression dan berinteraksi dengan teman kerja.
Kualitas
tenaga kerja bergantung pada kualitas sistem yang dimiliki seseorang dengan
keterampilan yang pantas, kebiasaan (habits),
dan sikap dalam setiap langkah kehidupannya sebelum memasuki dunia kerja,
selama dalam pekerjaan, dan diantara pekerjaan dan karier (Stern, 2003). Selama proses persiapan karier pertama-tama
sangat perlu memperhatikan fundamental
skills yang terdiri dari basic skills
(listening, reading, writing, speaking,
math), thinking skills (how to learn, create, solve problem, make
decition,ect), dan personal qualities
(Responsibility, integrity,
self-confidence, moral, character,loyality, etc). Fundamental skills sangat penting dan pokok dalam perkembangan
karier seseorang dalam pekerjaan. Di atas fundamental
skills ada genericworkskills,
industry-specific skills,dan company/employer
specific skills
C. TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN VOKASI
Pendidikan
vokasi merupakan jenjang pendidikan yang selalu dinamis dalam melakukan
perubahan kurikulum pendidikan sesuai dengan pertumbuhan pasar kerja dan
beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berarti pendidikan vokasi akan selalu mengalami
pergeseran paradigma. Menurut Pavlova (2009) dengan pertimbangan bahwa
aktivitas ekonomi sangat ditentukan adanya perubahan teknologi yang cepat pada
masa mendatang, maka orientasi pendidikan vokasi diarahkan menjadi pendidikan
bekerja (work education) atau
pendidikan teknologi (technology
education).
Secara tradisional, menurut Pavlova (2009) pendidikan vokasi
merupakan pendidikan dengan tujuan utama
mempersiapkan untuk bekerja dengan menggunakan pendekatan pendidikan berbasis
kompetensi. Selanjutnya, menurut Pavlova (2009) pendidikan bekerja merupakan
program pendidikan dengan tiga komponen yang saling terkait, yaitu:
pembelajaran untuk bekerja (learning for
work), pembelajaran tentang bekerja (learning
about work), dan pemahaman sifat dasar bekerja (understanding the nature of work).
Komponen pembelajaran untuk bekerja mencakup pengetahuan dan
praktik yang berkaitan dengan pekerjaan, komponen pembelajaran tentang bekerja
meliputi situasi dan kondisi (setting and
condition), dan komponen pemahaman sifat dasar bekerja berkaitan dengan sosial-budaya,
tekanan ekonomi dan politik yang mempengaruhi pekerjaan. Pendidikan teknologi
merupakan program pendidikan yang mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
sikap (attitudes), dan nilai (values) yang memungkinkan siswa dapat
memaksimalkan keluwesan dan beradaptasi dengan pekerjaan di masa mendatang.
Teknologi dalam pendidikan teknologi digunakan dalam empat kajian, yaitu:
teknologi sebagai obyek (technology-as-object),
teknologi sebagai pengetahuan (technology-as-knowledge),
teknologi sebagai proses
(technology-as-process), dan teknologi sebagai kemauan (technology-as-volition).
Teknologi sebagai obyek dimaksudkan sebagai utilitas, alat,
mesin, dan piranti cybernetik. Teknologi sebagai pengetahuan digunakan sebagai
hukum, teori, dan pengetahuan teknik. Teknologi sebagai proses dimanfaatkan
sebagai perencanaan, pembuatan, pemakaian, dan pemeliharaan. Teknologi sebagai
kemauan dimaksudkan sebagai alasan, kebutuhan, dan perhatian. Uraian di atas
menunjukkan bahwa orietasi pendidikan bekerja dan pendidikan teknologi
merupakan alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan untuk menghadapi
tantangan spektrum pekerjaan pada era ekonomi kreatif.
D. PROFESIONALISME GURU PENDIDIKAN VOKASI
Untuk menjadikan pendidikan vokasi memberi hasil yang berkualitas
maka guru harus memiliki kompetensi yang
tinggi dan profesional dalam bekerja. Smith (2009) menyatakan guru pendidikan
vokasi harus memiliki kemandirian, memiliki dorongan motivasi yang kuat dalam
bekerja, termasuk penguasaan terhadap kaidah-kaidah profesionalisme pendidikan
vokasi dalam memperbaiki kompetensi pengajarannya. Guru pendidikan vokasi
menurut Beven (2009) harus kompeten dalam merancang pembelajaran yang sarat
dengan pemberian pengalaman kepada anak didik melalui penguasaan kaidah-kaidah
pedagogik dan kurikulum pendidikan kejuruan.
Agar sukses dalam menjalankan profesi guru
pendidikan vokasi diperlukan pemahaman karakteristik pendidikan kejuruan yaitu:
(1) Mempersiapkan peserta didik
memasuki lapangan kerja; (2) Didasarkan kebutuhan dunia kerja “Demand-Market-Driven”
; (3) Penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja; (4) Kesuksesan
siswa pada “Hands-On” atau performa dunia kerja; (4) Hubungan erat
dengan dunia kerja merupakan kunci sukses Pendidikan vokasi; (5) Responsif dan
antisipatif terhadap kemajuan teknologi; (6) learning by doing dan hands on
experience; (7) membutuhkan
pasilitas mutakhir untuk praktek; (8) Memerlukan biaya investasi dan
operasional yang lebih besar dari pendidikan umum.
Ada beberapa kesalahan
yang sering dianggap biasa dipraktekkan di dalam pendidikan vokasi yaitu: (1)
Diklat dasar kompetensi kejuruan tidak diajarkan secara mendasar; (2) Kesalahan
diterima dan dimaafkan sebagai suatu kewajaran; (3) Mutu hasil kerja dibiarkan
apa adanya tanpa standar mutu; (4) Guru yang lemah mutunya ditugaskan mengajar
di tingkat awal; (5) Alat yang sudah tua, tidak standar dipakai oleh siswa tingkat
awal; (6) Kebiasaan salah tingkat awal mutu tidak penting. Padahal untuk
mendapat hasil pendidikan yang bermutu harus diawali dengan dasar yang kuat dan
benar; (7) Dalam praktek siswa dibiarkan bekerja dengan cara yang salah; (8)
Tidak mengikuti langkah, posisi tubuh dan gerak yang benar. Padahal kualitas
teknis dan produktivitas kerja sangat
ditentukan oleh cara kerja yang benar; (9) Membiarkan siswa bekerja di lantai
bukan di tempat kerja; (10) Membiarkan siswa menggunakan peralatan tidak sesuai
dengan fungsi dan tempatnya; (11) Membiarkan siswa dengan mutu hasil kerja asal
jadi. Hanya formalitas telah mengerjakan tanpa standar mutu. Guru memberi angka
:”Angka Guru” tidak ada hubungannya dengan standar mutu dunia kerja; (12) Siswa
tidak peduli dengan “Sense of Quality” dan “Sense of added Value”; (13) Kegiatan praktek tidak mengikuti
prinsip belajar tuntas “Mastery Learning” ; (14) Siswa bekerja tanpa
bimbingan dan pengawasan guru; (15) Siswa bekerja tanpa persyaratan keselamatan
kerja, tidak bertanggung jawab; (16) Siswa bekerja tanpa lembar kerja; (17) Guru
berada di sekolah hanya pada jam-jam mengajar saja; (18) Menjadi Guru Provinsi
atau Kabupaten karena mengajar di berbagai sekolah lintas kabupaten; (19)
Menggunakan waktu belajar hanya untuk catat mencatat; (20) Sekolah Vokasi
kurang memiliki wawasan ekonomi. Mesin rendah waktu pemakaiannya;
(21) Kurang etos kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Beven, F. (2009). The
Development of Training Modules forInstructor. Maclean, R., Wilson, D.
International Handbok of Education forthe Changing World of Work brdidging Academic and
Vocating Learning.Germany: UESCO-UNEVOC
Deseco.
(2005). Defining
and Selecting Key Competencies. Diambil dari: Www.Oecd.Org/Edu/ Statistics /Deseco.
Fahruddin Salim. (2009). Ekonomi Kreatif Mampu Bertahan dari Krisis. Diambil dari: http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/ 1id104627.html
Finch & Crunkilton. (1999). Curriculum
Development in Vocational and Technical Education, Planning, Content, and
Implementation. United State of America : Allyn & Bacon A Viacom
Company.
Finlay, Niven,& Young. 1998. Changing
Vocational Education and Training an International Comparative Perspective .
London: Routledge.
Gill, I.S.,Fluitman.F.,& Dar.A. (2000). Vocational Education and Training Reform,
Matching Skills to Markets and Budgets.Washington: Oxford University Press.
M. Hatta Rajasa. (2008). Menggagas Sumber Daya Manusia Kreatif Dalam
Membangun Bangsa di Masa Depan. Diambil pada tanggal 9 Januari 2009,
dari www.setneg.go.id.
Marzuki Usman. (2005). Kualifikasi
Profesional dan Globalisasi. Diambil pada tanggal 30 Juni 2008, dari
http://www.sinarharapan.co.id/berita/ 0504/04/eko02.html
Pavlova, M. (2009). Technology and vocational education for
sustainable development: Empowering individuals for the future. Australia:
Springer.
Power, C.N. (1999). Technical dan
vocational education for the twenty-first century. Prospects Journal, Vol. xxix, No. 1, 29-36.
Smith, E.
(2009). Teacher, Instructors and
Trainers: An Australian Focus. Maclean, R., Wilson, D. International
Handbokof Education forthe Changing World of Work brdidging Academic and
Vocating Learning.Germany: UESCO-UNEVOC
Soeharsono Sagir. (1989). Membangun manusia karya, masalah
ketenagakerjaan dan pengembangan sumberdaya
manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Thompson, John
F, 1973. Foundation of Vocational
Education Social and Philosophical Concepts.Prentice-Hall, New Jersey
Wagner,
T. (2008). The global achievement gap.
New York: Basic Books.
Wardiman Djojonegoro. 1998. Pengembangan
Sumberdaya Manusia melalui SMK. Jakarta : PT. Jayakarta Agung Offset.
Workkeys.
(2003). Workkeys and Dacum: Working
Together. Iowa: WWW.Act.Org/Workkeys
and WWW.Cnm.Edu-Workkeys_Dacum.Pdf.